Ulasan Khusus : Brexit dan nasib Poundsterling (GBP)
Negosiasi perihal Brexit belum juga dilakukan namun prospek ekonomi negara Inggris kedepan setelah keluar dari EU (European Union) sudah menunjukkan dampaknya di beragam sektor bisnis.
Ribuan pekerja terancam untuk hengkang dari Inggris guna mempertahankan koneksi one-market dengan negara-negara EU. Walaupun tidak ada model sistem yang dapat memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi kepada Inggris di tahun 2019 – ketika Brexit diimplementasikan secara de yure, namun beragam sektor industri, konsultan dan akuntan telah merilis belasan laporan erkonomi tentang kemungkinan dampak yang akan berimbas pada harga (produk dalam dan luar negeri) yang baru dan batasan-batasan (ekonomi, red) terhadap warga negara Inggris.
Berikut adalah ringkasan dampak-dampak yang telah diterima Inggris
Ekonomi makro
Dampak paling dramatis dari keputusan Brexit justru datang ketika pengambilan keputusan tersebut dilakukan. GBP, mata uang Inggris mengalami depresiasi terbesar di tahun 2016 terhadap USD, ketika para trader forex “bertaruh” bahwa lepasnya Inggris dari EU akan menimbulkan dampak jangka panjang terhadap Inggris.
Minggu lalu, terdapat sentimen positif setelah Perdana Menteri Inggris, Theresa May, memaparkan langkah-langkah yang akan diambil guna memastikan stabilitas kondisi dan keamanan Inggris pasca implementasi Brexit di tahun 2019. Depresiasi yang dialami oleh Inggris sejak tahun 2016 menguntungkan bagi para eksportir di Inggris, dimana mereka sempat mencatatkan rekor ekspor tertinggi dalam 17 tahun terakhir. Namun depresiasi tersebut merupakan pedang bermata dua, yang mana akan membuat inflasi menjadi lebih ganas, mengingat biaya yang dikeluarkan Inggris akan meningkat pasca depresiasi.
Sementara itu, berdasarkan data dari Bank sentral Inggris, tingkat investasi diperkirakan akan berada di level yang lebih rendah 25% dari perkiraan sebelumnya (yang dirilis sebelum referendum dilaksanakan). Dan lebih lanjut, di tahun 2016, terjadi penurunan jumlah investasi yang masuk ke Inggris sebesar -1.5%.
Konsumen di Inggris secara mengejutkan berhasil bertahan selepas referendum, yang membuat pertumbuhan PDB berdiam pada level yang sehat dan Inggris terhindar dari resesi. Namun, kini terdapat tanda-tanda ekonomi dimana para pembeli mulai kehilangan nilai mata uangnya (GBP) ketika inflasi mulai terjadi.
Penjualan retail, yang mana merupakan komponen krusial dari bidang konsumsi, turun sebesar 1.4% dalam kuartal pertama 2017, dan merupakan penurunan terbesar dalam satu kuartal sejak tahun 2010. Banyak analis ekonomi memperkirakan angka tersebut akan menjadi lebih buruk kedepannya.
Sektor Bank dan Jasa Finansial
Bulan januari lalu, CEO dari London Stock Exchange memperingatkan bahwa Brexit akan membuat London kehilangan 230.000 pekerjaan apabila pemerintah tidak mampu menyediakan rencana ekonomi yang jelas setelah implementasi Brexit dijalankan. CEO dari Goldman Sachs divisi Eropa mengatakan hal yang senada. Beliau mengatakan bahwa perusahaannya akan merelokasi ratusan pekerjanya di kota London sebelum perjanjian syarat dan ketentuan tentang Brexit selesai dinegosiasikan dengan EU.
Sementara itu, beberapa perusahaan lain telah mengambil langkah yang lebih radikal / drastis. Transferwise, salah satu perusahaan fintech terbesar di eropa, memberikan statement akan memindahkan kantor pusatnya dari London ke wilayah Eropa lainnya pada Maret 2019 untuk mempertahankan akses ke pasar EU setelah Brexit diimplementasikan. Bank dan perusahaan asuransi lainnya telah mengatakan bahwa mereka akan membuka kantor cabang di wilayah EU, selain kantor yang mereka telah buka di Inggris. Meskipun langkah tersebut menimbulkan biaya tambahan, tidak berarti bahwa akan terdapat pengurangan lapangan pekerjaan pada perusahaan tersebut.
Otomotif
Jumlah mobil yang dibuat di Inggris menembus rekor tertinggi selama 17 tahun terakhir tahun lalu dan demikian pula ekspor mobil oleh Inggris. Namun, apabila Inggris tidak mampu membuat kesepakatan bisnis yang layak selepas implementasi Brexit, maka industri otomotif akan menanggung beban permanen dan tidak dapat dinormalisasi, ujar perwakilan dari Society of Motor Manufaturers and Traders di bulan Januari 2017 lalu.
Dikarenakan persaingan ketat dari industri otomotif di luar Inggris, dan ketergantungan terhadap pekerja luar, maka dapat diperhitungkan bahwa industri otomotif adalah yang paling rentan terhadap dampak dari Hard-Brexit (dimana Inggris melepaskan seluruhnya akses akan pasar EU, dan kembali menggunakan aturan WTO).
Faktanya, kepindahan Inggris ke naungan WTO selepas implementasi Brexit akan menimbulkan tambahan biaya sebesar 10% untuk produk mobil dan 4.5% tambahan biaya untuk komponen mobil.
Konstruksi dan Industri Manufaktur
Sama seperti industri otomotif, kondisi yang sama akan terjadi di sektor konstruksi dan manufaktur ketika hasil negosiasi Brexit menelurkan batasan akan pergerakan pekerja, terutama pekerja dari luar Inggris (mengingat ketergantungan Inggris akan kemampuan pekerja luar).
Royal Institution of Chartered Surveyor, mengeluarkan laporan di bulan Maret yang menyatakan bahwa akan terdapat pengurangan lapangan pekerjaan sebesar 200.000 orang apabila Inggris kehilangan akses ke pasar EU, dan menghambat jutaan poundsterling yang telah dikeluarkan Inggris pada proyek-proyek infrastrukturnya. Hal tersebut akan menjadi pukulan keras bagi kota-kota besar di Inggris, terutama soal persaingan di ranah global.
Masih dalam konteks serupa, British Chamber of Commerce dan Confederation of British Industry telah mengeluarkan peringatan akan kemungkinan dampak yang akan diterima sektor-sektor industri di Inggris akan hasil negosiasi dan implementasi brexit kedepannya.
Makanan dan Minuman
Lebih dari setengah jumlah makanan yang dikonsumsi di Inggris merupakan hasil impor, yang berarti bahwa penurunan nilai mata uang GBP sesaat setelah keputusan untuk keluar dari EU (Brexit, red) dikeluarkan telah membuat harga-harga makanan dan minuman naik secara bertahap. Para supplier adalah yang pertama merasakan dampak tersebut, dan hingga saat ini melimpahkan beban mereka kepada konsumen tanpa ada subsidi atau kompensasi lain dari pemerintah. Sehingga, di kuartal pertama tahun 2017, terdapat penurunan jumlah penjualan retail sebesar 1.4% sebagai akibat dari akumulasi dampak depresiasi nilai GBP dan angka inflasi
Tahun 2016 lalu, sempat terdapat insiden yang merebak di masyarakat Inggris antara Tesco dan Unilever. Supermarket terbesar di Inggris tersebut menolak adanya peningkatan harga beli terhapad ratusan produk unilever. Produk Cadbury, NestlĂ©’s, Premier Food, juga mengalami peningkatan harga. Sementara itu, perusahaan lainnya secara diam-diam telah mengurangi ukuran/berat bersih dari produk-produknya, sehingga harga yang mereka tawarkan tidak akan mengalami perubahan.
Ufi Ibrahim, kepala dari British Hospitality Association (BHA) memperingatkan bahwa restoran di Inggris akan memerlukan waktu yang lama untuk menggantikan pekerjanya (dari EU) dengan pekerja dari Inggris setelah Brexit diimplementasikan.
0 Response to "Ulasan Khusus : Brexit dan nasib Poundsterling (GBP)"
Posting Komentar